TEKNOLOGI INFORMASI KURANGI KEMISKINAN
Order jumlah kodok dan per-mintaan produksi melon yang meningkat paska masuknya program Telekomunikasi Informasi dan Komunikasi (T1K) di sebuah desa apakah dapat menjadi indikator keberhasilan program masuknya TIK di suatu daerah? Pertanyaan ini tidak sulit dljawab, tetapi sulit untuk diberikan penilaian. Hampir semua peserta workshop (termasuk pe-nulis) yang diselenggarakan UNDP dan Bappenas dalam acara e-Indonesia Ini tiatives di Kampus ITB Bandung, 3 s/d 4 Mei 2006 lalu ragu menjawab pertanyaan ini, kecuali si pelaksana program? Jika pemanfaatan TIK dan akses ke internet telah berlangsung di desa tidak serta merta dianggap sebagai keberhasilan, lalu bagaimana mengukur keberhasilan suatu program TIK?
Persoalan kesenjangan digital di Indonesia tidak dapat diselesaikan dengan hanya menyediakan infrastruktur untuk 43.000 desa yang tidak terakses internet atau merealisasikan keberadaan komputer di 52.000 sekolah di Indonesia. Kita cukup kagum dengan statemen Iklan Layanan Masyarakat Telkom internet goes to school yang menyatakan ribuan desa sudah terakses ke internet. Akan tetapi infrastruktur tidak menjadi akhir dari suatu program. la hanyalah alat untuk merubah pola pikir masyarakat. Tentunya perubahan pola pikir agar masyarakat agar mau memanfaatkan TIK guna kepentingan pribadi atau kelompok merupakan hal yang sangat sulit diukur. Namun terjadinya pengurangan kemiskinan di masyarakat dapat menjadi indikator keberhasilan program TIK.
Pertanyaan apakah order kodok dan buah melon yang meningkat dapat menjadi indikator keberhasilan masuknya TIK di desa ternyata harus berpulang kepada indikator baseline sosial ekonomi masya rakat yang dapat menjadi acuan pra dan
dan paska intervensi masuknya TIK.
Rekan-rekan yang bekerja di proyek percontohan masuknya TIK di desa dapat berdalih bahwa program yang dilakukan tidak dapat diukur secara kuantitas. Pendekatan Ethnographic Action Re search (EAR) dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan perlunya data sekunder. Bahwa argumen keberhasilan seharusnya dirasakan oleh masyarakat yang terlibat dalam program masuknya TIK di desa menjadi perdebatan yang tidak akan kunjung usai jika dihadapkan dengan pihak lain. Penyelenggara pemerintahan I dan pembuat kebijakan tentunya akan sulit 1 untuk memberikan persetujuan program | jika tidak ada bukti suatu program berhasil atau tidak berdasarkan besaran kuantitas. Indikator nasional untuk mengukur apakah keberhasilan suatu negara dapat dilihat pada Human Development Indeks (HDI). Indonesia berada pada urutan 111 dari 177 negara pada tahun 2004. Adapun | indikator pengukuran dalam HDI selain I besaran standar pendapatan kotor ma syarakat adalah lamanya harapan hidup, tingkat buta huruf dan gabungan rasio mereka yang masuk sekolah dasar, me-nengah dan atas.
Besaran HDI dapat digunakan ditingkat lokal masyarakat sasaran proyek percontohan untuk masuknya TIK. Mantri statistik yang berada di kecamatan tentu nya dapat diberdayakan untuk membuat baselinesebelum program percontohan dijalankan. Baseline demografi desa dan indikator indikator lain tentunya dapat diolah kembali untuk kepentingan peng ukuran keberhasilan masuknya TIK di desa.
TIK untuk Pengurangan Kemiskinan (Information Communication and Teleco-munication for Poverty Reduction di-singkat ICT4PR) demikian bunyi program kerjasama Bappenas dan UNDP yang tengah dilakukan di 7 desa di Indonesia.
Suatu pendekatan yang tepat dimana masuknya TIK didukung dengan ke beradaan antropolog dengan nama info-mobilizer yang membantu masyarakat untuk memetakan potensi masyarakat itu sendiri. Dengan dukungan infomobilizer proses pemberdayaan masyarakat untuk mengembangkan potensinya sendiri dapat terealisasi. Masyarakat yang diberdayakan kemudian menuju tempat TIK untuk mengakses internet. Hasilnya mereka dapat menjual sumberdaya yang dimiliki seperti kodok dan melon secara intensif. Manfaat akan TIK dirasakan oleh masya rakat itu sendiri dan masyarakat sendiri yang menilai program TIK dinyatakan berhasil.
Cerita sukses suatu program penetrasi TIK ke desa tentunya butuh waktu pan-jang untuk dinilai berhasil atau tidak. Ada kekhawatiran jika proyek percontohan selesai, maka cerita sukses suatu desa akan ikut tamat. Keberlangsungan (suistanable) • suatu proyek dipertanyakan jika berasal dari pemerintah. Keberhasilan program penetrasi TIK kedesa dapat menjadi bahan
replikasi program sejenis secara misal di seluruh Indonesia.
Berhubung program percontohan masuknya TIK ke desa menggunakan idiom pengurangan kemiskinan, maka diperlukan indikator tentang kemiskinan. Dalam skala nasional selain indikator HDI terdapat jugaHuman Poverty Index (HPI). Indikator yang digunakan hampir mirip dengan HDI. HPI menggunakan indikator kemungkinan hidup hingga usia 40 tahun untuk menggambarkan harapan hidup, tingkat melek huruf untuk usia 15 tahun keatas, persentase mereka yang tidak menggunakan air bersih, dan persentase berat bayi tidak normal hingga usia 5 tahun.
HDI dan HPI merupakan besaran skala nasional akan tetapi bisa diturunkan ditingkat lokal dimana proyek percontohan masuknya TIK berlangsung. Jumlah orang miskin di sejumlah negara berkembang di Asia mencapai 760 juta jiwa. Di Asia tingkat kemiskinan Indonesia mendapat skor 18% lebih baik dari Mongolia, Vietnam, Myan-mar, India, Laos, Pakistan, Bangladesh, Kamboja atau Nepal. Posisi yang lebih baik
Di Asia tingkat kemiskinan Indonesia mendapat skor 18% lebih baik dari Mongolia, Vietnam, Myanmar, India, Laos, Pakistan, Bangladesh, Kamboja atau Nepal. Posisi yang lebih baik dari Indonesia dimiliki Srilanka, Maldives, Cina, Philipina, Thailand dan Malaysia
dari Indonesia dimiliki Srilanka, Maldives, Cina, Philipina, Thailand dan Malaysia. Setiap negara tengah mengupayakan laju infrastruktur dan program TIK masuk ke desa untuk mengurangi kemiskinan. Meski ada banyak varian yang dapat mem-pengaruhi skor indek HPI suatu negara, akan tetapi ia dapat juga digunakan untuk melihat kemajuan program pemerintah di bidang TIK.
Merujuk hasil pertemuan WSIS Asia Pasifik tahun 2003 ditekankan pentingnya peranan TIK dalam mencapai target Milineum Development Global. Penasehat khusus UNDP Mr Denis Gilhooly meng-ungkapkan bahwa adalah sangat sulit untuk menggapai MDG tanpa adanya inovasi, penetrasi dan aplikasi TIK.
Jika keberlangsungan program-program percontohan TIK di masyarakat masih diragukan keberlanjutannya, maka bisnis model dalam bentuk warung-warung internet murni swasta agar masuk ke desa perlu digalakan. Kemitraan dengan aso-siasi yang berhubungan dengan internet perlu dijadikan prioritas untuk menyebar-
kan TIK. Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dalam bentuk rental komputer dapat menjadi cikal bakal masuknya TIK ke desa. Jika pemerintah memberikan kemudahan akses internet untuk UMKM ini, maka mereka dapat membantu men-sukseskan penetrasi TIK ke desa. Karena infrastruktur sendiri harus ditopang dengan kesiapan masyarakat itu sendiri, maka untuk menciptakan supply and demandoperator TIK di desa harus rajin melakukan sosialisasi kegunaan TIK. Fungsi mereka hampir mirip dengan etnografer atau infomobilizer program percontohan. lika bisnis model ini berjalan, maka masuknya TIK ke desa dan keber lanjutannya dapat dipertahankan sesuai hukum pasar.
Program program masuknya TIK ke desa banyak dilakukan pihak pemerintah, donor atau swasta. Ada yang bermain di hulu dengan menyediakan program PC baru tapi murah, layak pakai, dan ter-jangkau. Ada yang bermain di hilir dengan memberikan fasilitas ke masyarakat dengan harga murah bahkan gratis. Warintek milik BPPT misalnya merupakan perpustakaan yang dapat membantu masyarakat kota dan desa untuk melek komputer. Warung internet gratis yang baru diluncurkan pihak PT Pos Indonesia tentunya juga dapat mendorong pemanfaatan infrastruktur lebih leluasa untuk masyarakat. Belum lagi program Universal Obligation Service (USO) yang memungkinkan desa men-dapatkan akses TIK dalam waktu dekat. Namun setelah infrastruktur itu masuk ke desa, maka pertanyaan klasik akan muncul kembali apakah masuknya TIK telah memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Dapatkah ia mengurangi kemiskinan di pedesaan ?
0 komentar:
Posting Komentar