Pada skala makro, akan ada banyak sekali variable yang
menjadi titik pemicu seorang anak manusia dalam membangun harapan itu.
Titik-titik itu bisa bersifat material (seperti keinginan untuk memiliki harta
yang banyak dan keinginan untuk berkuasa) dan juga bersifat non-material
(seperti harapan untuk membahagian seseorang yang dicintai).
Pertanyaannya, sebagai seorang muslim, apa seharusnya
yang menjadi motivator utama bagi kita tatkala mulai membangun harapan itu?
Jawabannya barangkali bisa kita lihat dari banyak kisah para sahabat dalam
perjalanan sejarah Islam. Kalau kita teliti siroh rasul dan para sahabat dalam
mendakwahkan Islam, misalnya, tak ragu kita untuk menyimpulkan bahwa harapan
untuk mendapatkan ridho Allah lah yang membuat mereka menjadi seseorang yang
begitu tegar mengarungi jalan dakwah yang seringkali menanjak dan berliku.
Karena harapan inilah, misalnya Nabi Nuh as tak pernah berhenti menyeru
ummatnya untuk menyembah Allah siang dan malam selama 950 tahun, sekalipun
hanya berapa orang saja yang mau menerima seruan yang beliau sampaikan.
Karena harapan ini jugalah seorang Mushab bin Ummair
tak gentar membuka ladang dakwah untuk pertama kali di kota Yastrib sendirian.
Ya sendirian. Karena ini jugalah seorang Handzalah bin Abu Amir tanpa ragu
meninggalkan kenikmatan malam pertama dengan isterinya tercinta dan kemudian
memilih menjawab panggilan jihad yang diserukan Rasulullah SAW. Dan juga karena
ini, seorang Sayid Qutb masih mampu tersenyum ikhlas penuh kemenangan pada
detik-detik maut akan menjemputnya di tiang gantungan demi mempertahankan
keyakinannya untuk tidak berdamai dengan penguasa yang zalim.
Akan kita temui ada begitu banyak kisah heroik dan
mengagumkan dalam siroh para rasul dan sahabat ini. Kisah-kisah yang sekilas
seakan utopis dan seperti hanya ada di negeri dongeng, namun kita yakin cerita
tentang mereka adalah nyata adanya. Mereka adalah pelaku nyata kisah-kisah
heroik dalam sejarah peradaban Islam itu. Apa yang membuat mereka menjadi
tokoh-tokoh yang melegenda itu? Sekali lagi, jawabannya adalah karena mereka
telah mampu membangun harapan (baca: mencari keridhaan Allah SWT).
Pendeknya, membangun harapan sepertinya adalah suatu
hal yang perlu kita lakukan secara sadar dan terencana. Karena hidup hanya sekali,
maka penting bagi kita untuk menulis naskah (harapan) kehidupan kita. Baik
harapan sebagai seorang individu, sebagai anggota masyarakat, sebagai kepala
keluarga, sebagai warga negara, sebagai bagian dari kaum muslimin, dan tentu
sebagai seorang hamba Allah SWT. Karena pentingnya harapan ini dalam semua
dimensi kehidupan kita, wajar kalau Allah SWT mengaitkan harapan ini dengan
keimanan, yaitu ketika Allah mengharamkan hambaNya berputus asa dengan nikmat
Allah (QS. 39:53).
Yah, sekali lagi, harapan memang bukan segalanya, tapi
dia adalah awal dari segalanya. Maka oleh sebab itu, kita tak boleh berhenti
untuk berharap. Kita tak boleh kehilangan keyakinan bahwa hasil yang kita
dapatkan sesungguhnya berbanding lurus dengan usaha yang kita lakukan. Dan salah
satu usaha itu adalah memantapkan fondasi bangunan harapan kita.
Dan di awal tahun baru ini, adalah saat yang tepat
bagi kita untuk kembali menata (ulang) bangunan harapan itu. Secara umum tentu
kita harus berharap bahwa hari ini harus lebih baik dari remaren, dan hari esok
harus lebih baik dari hari ini. Kita harus berani menatap masa depan kita
dengan kepala tegak dan wajah penuh optimisme, sekalipun pada saat yang sama,
kita dan bangsa besar kita masih belum juga keluar dari perangkap berbagai permasalahannya.
Sekali lagi, kita harus yakin bahwa ‘badai pasti berlalu’, kalau kita semua
bergerak secara sungguh-sungguh untuk menghalau badai itu.
Namun
demikian, tentu perlu juga diingat bahwa keputusan Allah lah yang berlaku di
atas semua harapan itu. Keyakinan seperti ini juga penting, agar kita tidak
terjebak menjadi seseorang yang kecewa berat tatkala harapan kita tak sesuai
dengan kenyataan. Tak kala hasil yang kita peroleh tak seindah rencana bangunan
harapan kita. Oleh karenanya, kita mesti menutup ungkapan harapan kita dengan
kata-kata ‘semoga’ atau ‘mudah-mudahan’. Kita hanya bisa berencana (dan
berusaha), pada akhirnya keputusan Allahlah yang berlaku. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar